Perdebatan panas tentang Pergeseran Benua (Continental Drift) terus
berlangsung setelah meninggalnya Wagener dan secara berangsur teori ini
hampir dilupakan karena dianggap tidak biasa, absurd, dan tidak mungkin
terjadi.
Akan tetapi, di awal tahun 1950-an banyaknya bukti baru yang timbul
membangkitkan kembali debat tentang teori yang provokatif dari Wagener
dan implikasi-implikasinya. Secara umum, terdapat perkembangan
pengetahuan yang mendukung formulasi dari Teori Lempeng Tektonik:
- Fakta kekasaran dasar samudera dan umur muda dari dari dasar samudera tersebut.
- konfirmasi adanya pengulangan pembalikan medan magnetik geologis di masa lalu.
- Munculnya Hipotesa pergerakan-dasar samudera dan kaitannya dengan daur ulang kulit/kerak samudera.
- dokumentasi yang akurat yang memperlihatkan lokasi kejadian gempa-gempa dan kejadian vulkanik di dunia terkonsentrasi di sepanjang palung samudera dan rangkaian pegunungan bawah laut.
Pemetaan Dasar Samudera.
Sekitar dua pertiga dari permukaan bumi berada di bawah samudera.
Sebelum abad 19 dalamnya laut banyak diperdebatkan, bahkan dipercayai
dasar samudera relatif datar dan sama sekali tidak punya fitur yang
lain. Akan tetapi pada awal abad 16 beberapa navigator pemberani –dengan
menggunakan peralatan tangan-, telah menemukan bahwa kedalaman samudera
terbuka ternyata berbeda sangat signifikan, yang menunjukkan bahwa
dasar samudera tidaklah datar seperti yang dianggap selama ini.
Eksplorasi samudera selanjutnya meningkatkan pengetahuan kita terhadap
dasar samudera. Kita jadi mengetahui bahwa semua peristiwa geologi di
daratan terkait secara langsung atau tidak langsung dengan dinamika yang
terjadi di dasar samudera.
Pengukuran samudera secara ‘modern’ sangat meningkat di abad 19,
dimana pengukuran laut dalam (bathymetric survey) rutin dilakukan di
samudera Atlantik dan Karibia. Pada tahun 1855, pelaut militer Amerika,
Letnan Matthew Maury memperlihatkan dalam diagram yang diterbitkannnya
adanya pegunungan bawah laut di tengah Atlantik. Hal ini kemudian dibenarkan oleh kapal survey yang meletakkan kabel telegraf di samudera Atlantik.
Penajaman gambaran dasar samudera yang
lebih cepat terjadi setelah Perang Dunia I (1914-1918), dimana
peralatan pantulan-suara – sistem sonar primitif—mulai dipakai untuk
pengukuran dalamnya samudera. Grafik yang dihasilkan dari pengukuran
memperlihatkan bahwa dasar samudera jauh lebih kasar dari yang
sebelumnya dipikirkan. Alat tersebut juga secara jelas memperlihatkan
kesinambungan dan kekasaran dari rangkaian pegunungan bawah laut di
Atlantik tengah (yang kemudian disebut sebagai Mid-Atlantic Ridge atau
Bubungan Mid-Atlantik), seperti juga direkomendasikan pada awal survey
bathymetrik.
Global Mid Ocen Ridge (Bubungan Global Tengah Samudera). Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig5.gif
Pada tahun 1947, para seismolog dari kapal penelitian Amerika, Atlantis, menemukan bahwa tebal dari sedimen pada dasar samudera Atlantik tidak setebal yang diperkirakan sebelumnya. Sebelumnya ilmuwan meyakini bahwa umur dari samudera sudah 4 milyar tahun, jadi tumpukan sedimen seharusnya sudah sangat tebal. Lalu, kenapa terdapat sangat sedikit akumulasi dari batuan sedimen dan bongkahannya di dasar samudera? Jawaban atas pertanyaan ini terjawab setelah eksplorasi lebih jauh, dan akan membuktikan pengembangan vital dari konsep Lempeng Tektonik.
Peta Topografi komputer dari Bubungan Tengah Samudera. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/topomap.gif
Pada 1950 an, eksplorasi samudera semakin banyak. Data-data
yang dikumpulkan dari penelitian berbagai negara menyimpulkan bahwa
rangkaian pegunungan besar di dasar samudera secara virtual mengelilingi
bumi. Disebut sebagai Bubungan Tengah-Samudera (Global Mid-Ocean
Ridge), rangkaian pegunungan yang luar biasa ini—panjangnya lebih dari
50.000 km, dan memiliki 800 km ukuran melintang—berbaris meliku di
antara benua-benua, seperti jahitan pada bola bisbol dan menjulang
tinggi hingga 4.500 m dari dasar samudera. Walau tersembunyi di bawah
permukaan samudera, bubungan tengah-samudera global adalah fitur
topografi yang paling terkenal di bumi kita ini.
Lajur Magnetik dan Polaritas Berlawanan
Berawal di tahun 1950 an, ilmuwan yang memakai peralatan magnetis
(magnetometer) yang diadopsi dari peralatan pesawat tempur untuk deteksi
kapal selam pada Perang Dunia II, menemukan keganjilan variasi magnetik
disepanjang dasar samudera. Penemuan ini, -tidak diharapkan
sebelumnya-, tidaklah sepenuhnya mengejutkan karena sudah diketahui
bahwa basalt—batuan vulkanik yang mengandung banyak besi yang merupakan
unsur pembentuk dasar samudera—mengandung mineral magnetik yang sangat
kuat (magnetit) yang dapat membelokkan pembacaan kompas.
Model teoretis dari formasi jalur magnetik.
Lapisan luar terbaru dari dasar samudera terbentuk terus menerus di
puncak dari Bubungan tengah-samudera, mendingin, dan menua seiring
menjauhnya dari puncak ridge akibat pergerakan dasar samudera (lihat
teks) a. pergerakan sekitar 5 juta tahun yang lalu; b. pergerakan
sekitar 2-3 juta tahun lalu; dan c. pergerakan saat ini. Source:
http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig7.gif
Di awal abad 20, paleomagnetis (ilmuwan yang mendalami medan
magnetik purba) — seperti Bernard Brunhes di Perancis (1906) dan
Motonari Mutuyama di Jepang (1920)—memperkenalkan bahwa sifat magnetik
batuan pada dasarnya terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama, adalah
kelompok kutub normal, yang mempunya karasteristik kandungan mineral
yang memiliki kutub yang sama dengan kutub magnet bumi saat ini. Jadi
“jarum kompas” dari sisi utara dari batuan menunjuk ke arah utara magnet
bumi.
Kelompok kedua adalah yang memiliki kutub berlawanan, yang
ditunjukkan dari arah kutub mineral yang berlawanan dengan medan
magnetik bumi saat ini. Dalam hal ini, “jarum kompas” mineral dari
batuan menunjuk selatan kutub bumi. Bagaimana hal ini terjadi?
Jawabannya ada pada magnetit pada batuan vulkanik. Serbuk magnetik
–berperilaku sebagai magnet kecil—bisa mensejajarkan diri dengan arah
dari magnet bumi. Ketika magma (batuan cair panas yang mengandung
mineral dan gas) mendingin membentuk batuan vulkanik padat , garis
magnetik dari serbuk ”terkunci”, merekam arah magnet bumi atau polaritas
(normal atau terbalik) pada saat pendinginan.
Pelajuran Magnetik di barat laut Pasifik. Gambar memperlihatkan peta dasar laut jika air bisa dihilangkan. Garis putus-putus hitam adalah patahan transform. http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/Fig6.gif
Pemetaan dasar samudera yang semakin banyak dan lebih banyak lagi
selama tahun 1950 an, menunjukkan variasi magnetik tidaklah acak atau
terisolasi, akan tetapi memiliki pola yang jelas. Ketika pola magnetik
ini dipetakan dalam area yang lebar, pola zebra-cross terlihat
pada dasar samudera. Lajur polaritas magnetis bergantian dari batuan
terdapat pada dua sisi dari bubungan tengah-lautan: satu lajur dengan
polaritas normal dan lajur yang bersebelahan memiliki polaritas
berlawanan. Pola keseluruhan, yang ditunjukkan dengan adanya polaritas
normal dan terbalik secara bergantian, dikenal sebagai pelajuran
magnetik.
Pergerakan Dasar Samudera dan Daur Ulang Kulit/kerak Samudera
Penemuan sebaran magnetik pada akhirnya menimbulkan pertanyaan:
Bagaimana lajur magnetik terbentuk? Dan mengapa lajur tersebut simetris
terhadap puncak dari bubungan tengah-samudera? Pertanyaan ini tidak akan
terjawab tanpa mengetahui arti penting ridges ini.
Pada tahun 1961, para ilmuwan mulai berteori bahwa bubungan
tengah-samudera secara struktur ditandai zona yang paling lemah yang
memanjang sepanjang puncak bubungan dimana dasar samudera terbelah dalam
dua bagian. Kulit terbaru dasar samudera terbentuk dari magma baru yang
keluar dari dalam bumi yang naik dengan mudah disepanjang puncak
bubungan. Proses yang disebut pergerakan dasar samudera, sudah terjadi sekitar jutaan tahun dan telah membentuk bubungan tengah-samudera sepanjang 50.000 km.
Hipotesa ini didukung oleh beberapa bukti: (1) batuan di dekat puncak
bubungan berumur lebih muda, dan semakin jauh dari puncak bubungan,
batuan berumur semakin tua. (2) batuan yang umurnya paling muda pada
puncak bubungan tengah-samudera mempunyai polaritas yang sama dengan
polaritas saat ini dari bumi dan (3) lajur-lajur magnetik sejajar dengan
puncak bubungan berganti-ganti dengan pola: normal-berlawanan-normal ,
dst. Dengan penjelasan pola zebracross lajur magnetik dan
pembentukan sistem bubungan tengah-samudera, hipotesa pergerakan dasar
samudera secara cepat memicu perkembangan teori lempeng. Lebih jauh,
kulit atau lapisan luar dasar samudera menjadi semacam pita rekaman
sejarah dari terbaliknya medan magnet bumi.
Bukti tambahan dari pergerakan dasar samudera datang dari sumber yang
tidak diharapkan: eksplorasi minyak. Setelah perang dunia kedua
persediaan minyak bumi di dataran benua berkurang cepat dan pencarian
cadangan berpindah ke eksplorasi samudera. Untuk melakukannya perusahaan
minyak bumi memakai kapal yang diperlengkapi denga alat bor yang
mempunyai kapasitas memasukkan pipa bor hingga kilometeran dalamnya.
Ide ini mendasari dibuatnya kapal penelitian bernama Glomar Challenger,
yang didesain secara khusus untuk penelitian geologi, termasuk juga
mengumpulkan contoh material dari dasar samudera yang dalam. Pada tahun
1968, kapal tersebut melakukan penelitian satu tahun, melintasi bubungan
tengah-samudera di antara Amerika Selatan dan Afrika dan mengambil
contoh material di tempat yang ditentukan. Bukti hipotesa pergerakan
dasar samudera diberikan secara jelas ketika umur contoh ditaksir dengan
studi paleontologik dan studi umur isotop yang dikandung contoh
material.
Glomar Challenger and JOIDES Resolution [130 k]
Konsekuensi nyata dari pergerakan dasar samudera adalah bahwa kulit
baru dari dasar samudera sedang, dan akan secara terus menerus terbentuk
sepanjang bubungan samudera.
Hal ini membuat kegirangan beberapa ilmuwan yang meyakini bahwa
pergeseran benua merupakan akibat dari bumi yang semakin membesar sejak
awal pembentukan bumi. Akan tetapi hipotesa yang dikenal dengan
“Expanded Earth” (Pembengkakan Bumi) tidak memberikan bukti geologis
mekanisme apa yang bisa menghasilkan pengembangangan yang luar biasa.
Kebanyakan geolog percaya, sejak lahir sekitar 4,6 milyar tahun yang
lalu, ukuran bumi berubah sangat sedikit. Hal ini menimbulkan pertanyaan
baru: bagaimana kulit baru bumi bisa terbentuk secara terus menerus
sepanjang bubungan samudera tanpa menambah ukuran bumi?
Harry H. Hess, seorang geologis dari Princeton University dan Robert S
Dietz dari Survey Pantai dan Geodesi Amerika tertarik dengan
pertanyaan tersebut. Mereka berdua adalah sedikit orang yang
betul-betul mengerti implikasi pergerakan dasar samudera. Jika kulit
samudera bertambah di sepanjang bubungan samudera, Hess berkata, pada
suatu tempat pasti terjadi penyusutan. Beliau menyatakan bahwa
kulit/dasar samudera terus-menerus terus bergerak menjauhi bubungan
seperti gerakan sabuk konveyor.
Jutaan tahun kemudian, kulit samudera/dasar samudera pada akhirnya
akan menyusup ke bawah palung samudera – yaitu ngarai tipis yang sangat
dalam sepanjang batas dataran Samudera Pasifik. Menurut Hess, Samudera
Atlantik terus bertambah, di pihak lainnya Samudera Pasifik menyusut.
Ketika kulit/dasar samudera yang lebih tua ditelan di palung samudera,
kulit/dasar samudera yang baru terbentuk di sepanjang bubungan. Jadi,
dasar Samudera sebenarnya di daur ulang, yaitu pembentukan kulit baru
bersamaan terjadinya dengan penghancuran kulit yang lebih tua. Hal ini
menerangkan: (1) ukuran bumi tidak bertambah, (2) mengapa timbunan
sedimen sangat sedikit ditemukan di dasar samudera, dan (3) mengapa umur
batuan samudera lebih muda dibandingkan dengan umur batuan
benua/daratan.
Konsentrasi Gempa-gempa
Peningkatan kualitas instrumen gempa dan semakin mendunianya
pemakaian seismograf selama abad ke-20 membantu ilmuwan untuk
menyimpulkan bahwa gempa-gempa cenderung terkonsentrasi di lokasi
tertentu, dan lokasi itu adalah di sepanjang palung samudera dan di
sebaran bubungan. Pada akhir 1920 an para seismolog mulai
mengidentifikasi beberapa zona gempa sejajar dengan palung yang bersudut
inklinasi 40-60 derajad dari sumbu horisontal dan menujam hingga
beberapa ratus kilometer ke dalam bumi.
Zona ini lazim disebut dengan Zona Wadati-Benioff, atau Zona Benioff,
untuk menghormati Kiyoo Wadati dan Hugo Benioff , dua orang seimolog
yang pertama sekali menemukannya.
Sebaran zona-zona gempa. Source: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/graphics/earthquake_concen.gif
Akan tetapi apa arti hubungan gempa-gempa dengan palung samudera dan bubungan?
Pengenalan hubungan tersebut menolong kita untuk memastikan
kebenaran hipotesa pergerakan dasar samudera dengan menunjukkan zona
yang diprediksi Hess: kulit/dasar baru samudera terbentuk di bubungan
dan zona dimana litosfer samudera menyusup kembali ke mantel bumi di
bawah palung.
Pendapat Ahli Abad 20-an VS Al-Qur'an
Pergerakan kerak Bumi ini diketemukan setelah penelitian geologi yang
dilakukan di awal abad ke-20. Para ilmuwan menjelaskan peristiwa ini
sebagaimana berikut:
''Kerak dan bagian terluar dari
magma, dengan ketebalan sekitar 100 km, terbagi atas lapisan-lapisan
yang disebut lempengan. Terdapat enam lempengan utama, dan beberapa
lempengan kecil. Menurut teori yang disebut lempeng tektonik,
lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa benua dan
dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua telah diukur dan berkecepatan 1
hingga 5 cm per tahun. Lempengan-lempengan tersebut terus-menerus
bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan.
Setiap tahun, misalnya, Samudera Atlantic menjadi sedikit lebih lebar.'' (Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 30)
Fakta
ilmiah ini, kata Harun Yahya, telah diungkapkan oleh kitab suci Alquran
sejak abad ke-7 M. ''Dalam sebuah ayat, kita diberitahu bahwa
gunung-gunung tidaklah diam sebagaimana yang tampak, akan tetapi mereka
terus-menerus bergerak,'' ungkap Harun Yahya.
Simak surah An-Naml [27] ayat 88, Allah SWT berfirman, "Dan
kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya,
padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Menurut Harun
Yahya, gerakan gunung-gunung itu disebabkan gerakan kerak bumi tempat
mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan magma
yang lebih rapat.
''Ada hal sangat penting yang perlu
dikemukakan di sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang
gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. Kini, Ilmuwan
modern juga menggunakan istilah "continental drift" atau "gerakan
mengapung dari benua" untuk gerakan ini,'' papar Harun Yahya.
Sumber :
http://strukturawam.wordpress.com
http://www.republika.co.id
http://www.keajaibanalquran.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar